Akhir-akhir ini, masyarakat cenderung memiliki persep¬si bahwa tindakan membalas kejahatan dengan kejahatan (kekerasan) merupakan sesuatu yang benar. Tampaknya, secara perlahan namun pasti, tindakan melakukan kekerasan terhadap para pelaku kejahatan tersebut mengalami proses ke arah legalitas.
Kebiadaban kolektif, relatif menjadi 'trend' di tengah masyarakat. Sangat sulit untuk melacak : di mana awal gejala kebrutalan massa ini. Yang pasti, apabila dicermati, berita-berita mengenai 'pengadilan brutal' di tengah masyarakat yang dilansir surat kabar atau media massa lain, mulai terlihat sejak dua tahun terakhir
Ketika seorang pelaku kejahatan tertangkap basah oleh masyarakat, hampir bisa dipastikan ia akan babak belur. Masyarakat seolah tidak perduli betapa pun kecilnya kejaha¬tan yang dilakukan tersangka. Mereka juga tidak berusaha bertanya telah berapa kali seseorang mencuri, dan untuk apa melakukan tindak kriminal seperti itu. Massa juga seolah tidak pernah menyesal ketika korban yang 'diadili secara brutal' tersebut ternyata bukan pencuri.
Mencermati 'korban' kebrutalan massa, tampaknya tidak ada klasifikasi yang jelas mengenai status penjahat bagi masyarakat. Semuanya dianggap sama, baik pengutil, pencuri, maupun pelaku tindak kriminal kelas kakap. Masyarakat tidak memerlukan pembuktian atau bahkan saksi mata. Ketika terdengar teriakan 'maling' dan seseorang menunjuk pelaku, massa dengan cepat mengejar, menangkap, dan memukulinya. Telinga massa seolah tertutup untuk mendengar erang kesakitan, rintih minta ampun, atau penyangkalan tersangka.
Republika (21 Mei 2000) mengungkapkan sebuah berita mengenaskan. Di Desa Kalinowo, Kecamatan Badang, Kebumen, Jawa Tengah, Dasimun (53) dihakimi massa hingga tewas sete¬lah kedapatan mencuri seekor ayam. Prosesinya cukup menarik. Ia sempat dibawa ke balai desa dan diinterogasi.
Kepada petugas kepolisian dan aparat desa, Dasimun mengatakan ia terpaksa mencuri karena anak satu-satunya merengek terus ingin makan daging ayam di malam lebaran. Masyarakat tidak mau percaya. Dasimun diseret keluar balai desa dan dipukuli beramai-ramai. Ritus pembataian baru berhenti setelah Dasimun roboh, dan tidak bisa lagi mengerang kesakitan. Seluruh tubuhnya, termasuk muka dan kepala, penuh luka memar. Ia tewas dalam perjalanan ke RSU Kebumen. Masyarakat bersorak.
Kisah tragis di atas adalah satu dari sekian puluh tindak kriminal kolektif masyarakat terhadap pelaku pencurian. Beberapa peristiwa memilukan yang sempat penulis himpun dari berbagai media massa menyebutkan bahwa selama tahun 2000 tercatat sekitar 30 kasus tindak kriminal kolektif warga terhadap pelaku kejahatan. Mungkin bisa lebih banyak lagi apabila ditambah dengan peristiwa-peristiwa yang luput dari perhatian penulis.
Tidak hanya masyarakat, pelajar pun mulai kejangkitan virus kebiadaban ini. Satu dari beberapa peristiwa sepanjang tahun 2000, tepatnya pada bulan Maret, dilakukan pelajar. Mereka mengeroyok Khairul Sagita, sopir Metromini B-92, di Jalan Panjang Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Khairul, menurut sejumlah pelajar, bersalah karena menabrak hingga tewas seorang rekan mereka. Namun, cerita lengkap dari sejumlah saksi matayang dihimpun aparat kepolisian mengatakan Khairul tidak sepenuhnya bersalah. Siang itu, mobil yang dikemudikan Khairul dihentikan sejumlah pelajar. Khairul memperlambat mobilnya, dan puluhan pelajar naik serabutan. Sebagian bergelantungan. Seorang pelajar terjatuh dan tergilas ban belakang mobil Metromini itu.
Aksi pelajar lainnya, terjadi tanggal 1 Mei 2000. Metromini T-506 trayek Kampung Melayu - Pondok Kopi dirampok di Jalan I Gusti Ngurah Rai. Pelakunya 6 orang menggunakan seragam sekolah menengah umum (SMU). Mereka menguras habis isi kantong penumpang senilai Rp. 4,7 juta. Para pelajar itu seperti mengetahui kalau di awal bulan tersebut, pengguna jasa angkutan sedang berduit. “Saya tidak menyangka ada pelajar senekad itu. Semua gaji yang saya terima (Rp. 700 ribu) diminta. Saya mau bilang apa kalau mereka memaksa dengan golok,“ tutur Aprianto, salah seorang karyawan swasta yang menjadi korban.
Untungnya, polisi bertindak cepat dan berhasil menangkap mereka. Hanya sebagian dari barang bukti yang dapat diselamatkan, sebagian lainnya sudah dihabiskan pelajar. Alasannya macam-macam. Membeli minuman, mentraktir teman dan diduga ada pula yang menggunakannya untuk membeli narkoba.
Aksi anak-anak yang menjelang dewasa itu tidak hanya dilakukan dalam kelompok kecil. Seperti kejadian 23 Mei 2000, sekitar 30 orang yang kumisnya belum tumbuh menyetop Mayasari Bakti 904 di Jalan Hasyim Ashari Jakarta Pusat. Mereka memerintahkan supir bus berhenti dengan cara menghadang di tengah jalan. Seperti semut yang sudah mengetahui tempat gula, secara serempak puluhan orang bergerak. Ada yang mengacungkan golok, clurit, pisau lipat, dan mengayun-ayunkan tongkat penggebuk.
Sebagian lainnya beraksi merampas perhiasan yang dikenakan penumpang. “Ayo keluarkan uangnya kalau tidak ingin mati!” ancam mereka. Ibu-ibu dan kebanyakan karyawati, hanya bisa menangis sewaktu dompetnya diambil (Media Indonesi, 29 Mei 2000).
Tabiat pelajar yang semakin brutal tersebut merupakan satu di antara berbagai contoh maraknya kekerasan massa. Kebrutalan massa seolah mencapai puncaknya ketika 4 tersangka pencuri sepeda motor tewas dibakar massa. Namun, itu bukan satu-satunya kasus dipertengahan tahun 2000. Masih ada beberapa kasus lainnya yang terjadi di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Tidak tersedia angka pasti berapa persen peningkatan angka kejahatan sepanjang krisis ekonomi. Yang jelas, masyarakat kehilangan rasa aman, karena tidak satu pun dari sekian banyak sudut kota-kota besar, terbebas dari kejahatan.
Apabila dicermati, trend kebiadan kolektif di tengah masyarakat, mulai terlihat antara lain ketika budaya kekerasan aparat mendapat perlawanan di hampir semua lapisan masyarakat. Menurut beberapa warga masyarakat, ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan telah terakumulasi sekian lama. Buktinya, tidak satu pun korban pencurian sepeda motor misalnya, yang berharap miliknya kembali setelah melapor ke polisi. Begitu banyak kasus pencurian sepeda motor, tetapi terlalu sedikit pelaku yang dibekuk aparat. Oleh karena itu, apabila salah seorang pencuri tertangkap basah, siapa pun – apalagi dalam bentuk kerumunan massa – akan melampiaskan kejengkelannya dengan berbagai cara : sekadar ikut memukul dengan benda keras, sampai mencari ban-ban bekas untuk membakar si pelaku.
Salah seorang pelaku pembakaran mengungkapkan bahwa dirinya dan mungkin individu-individu lainnya -- sebetulnya -- tidak menginginkan pembunuhan. Namun persoalannya akan menjadi lain ketika yang bersangkutan berada di tengah massa yang sedang dibakar emosi Setiap orang akan larut ke dalam kehendak massa, dan pembunuhan sesadis apa pun bisa terjadi.
Senada dengan pernyataan di atas, salah seorang pakar kriminologi FISIP-UI mengatakan emosi massa membuat setiap individu tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya merupakan tindak kriminal. Dengan demikian, sebuah tindakan kriminal yang dilakukan secara kolektif (dengan cara pengeroyokan), bisa saja terjadi tanpa mereka sadari.
Terdapat kesan, seolah aparat membiarkan setiap aksi kebrutalan massa terhadap pelaku kejahatan. Sepertinya, hukum tidak menjangkau massa yang melakukan tindak kriminal terhadap penjahat, sesadis apapun. Seharusnya, tidakan itu terkena sanksi hukum. Namum, ketidakmampuan aparat untuk menangkap sedemikian banyak massa menyebabkan masyarakat seolah memperoleh legitimasi untuk melanggar hukum secara kolektif.
Tampaknya, tokoh-tokoh masyarakat di lokasi terjadinya pengeroyokan, tidak berupaya mengadakan pencegahan secara dini. Ulama, Ketua RT, Ketua RW, atau siapapun yang dijadikan tokoh/sesepuh, nyaris tidak berfungsi. Kalaupun ada upaya itu, tokoh masyarakat biasanya menyerah kepada tekanan massa. Atau, si tokoh pun ikut larut dalam kehendak biadab orang sekitarnya. Sering pula, pelaku pengeroyokan bukan dari masyarakat sekitar sehingga mereka mengabaikan himbauan tokoh setempat dan bertindak sekehendaknya.
Di sisi lain, sasaran keberingasan massa bisa menimpa siapa saja. Tidak hanya penjahat yang tertangkap basah, tetapi juga aparat kepolisian yang membuat kesalahan kecil. Inilah yang dialami Sersan Kepala Sofyan dan Sersan Satu Muchyarudin, awal Mei 2000 lalu di Desa Rawaselapan, Lampung Selatan.
Kebiadaban kolektif, relatif menjadi 'trend' di tengah masyarakat. Sangat sulit untuk melacak : di mana awal gejala kebrutalan massa ini. Yang pasti, apabila dicermati, berita-berita mengenai 'pengadilan brutal' di tengah masyarakat yang dilansir surat kabar atau media massa lain, mulai terlihat sejak dua tahun terakhir
Ketika seorang pelaku kejahatan tertangkap basah oleh masyarakat, hampir bisa dipastikan ia akan babak belur. Masyarakat seolah tidak perduli betapa pun kecilnya kejaha¬tan yang dilakukan tersangka. Mereka juga tidak berusaha bertanya telah berapa kali seseorang mencuri, dan untuk apa melakukan tindak kriminal seperti itu. Massa juga seolah tidak pernah menyesal ketika korban yang 'diadili secara brutal' tersebut ternyata bukan pencuri.
Mencermati 'korban' kebrutalan massa, tampaknya tidak ada klasifikasi yang jelas mengenai status penjahat bagi masyarakat. Semuanya dianggap sama, baik pengutil, pencuri, maupun pelaku tindak kriminal kelas kakap. Masyarakat tidak memerlukan pembuktian atau bahkan saksi mata. Ketika terdengar teriakan 'maling' dan seseorang menunjuk pelaku, massa dengan cepat mengejar, menangkap, dan memukulinya. Telinga massa seolah tertutup untuk mendengar erang kesakitan, rintih minta ampun, atau penyangkalan tersangka.
Republika (21 Mei 2000) mengungkapkan sebuah berita mengenaskan. Di Desa Kalinowo, Kecamatan Badang, Kebumen, Jawa Tengah, Dasimun (53) dihakimi massa hingga tewas sete¬lah kedapatan mencuri seekor ayam. Prosesinya cukup menarik. Ia sempat dibawa ke balai desa dan diinterogasi.
Kepada petugas kepolisian dan aparat desa, Dasimun mengatakan ia terpaksa mencuri karena anak satu-satunya merengek terus ingin makan daging ayam di malam lebaran. Masyarakat tidak mau percaya. Dasimun diseret keluar balai desa dan dipukuli beramai-ramai. Ritus pembataian baru berhenti setelah Dasimun roboh, dan tidak bisa lagi mengerang kesakitan. Seluruh tubuhnya, termasuk muka dan kepala, penuh luka memar. Ia tewas dalam perjalanan ke RSU Kebumen. Masyarakat bersorak.
Kisah tragis di atas adalah satu dari sekian puluh tindak kriminal kolektif masyarakat terhadap pelaku pencurian. Beberapa peristiwa memilukan yang sempat penulis himpun dari berbagai media massa menyebutkan bahwa selama tahun 2000 tercatat sekitar 30 kasus tindak kriminal kolektif warga terhadap pelaku kejahatan. Mungkin bisa lebih banyak lagi apabila ditambah dengan peristiwa-peristiwa yang luput dari perhatian penulis.
Tidak hanya masyarakat, pelajar pun mulai kejangkitan virus kebiadaban ini. Satu dari beberapa peristiwa sepanjang tahun 2000, tepatnya pada bulan Maret, dilakukan pelajar. Mereka mengeroyok Khairul Sagita, sopir Metromini B-92, di Jalan Panjang Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Khairul, menurut sejumlah pelajar, bersalah karena menabrak hingga tewas seorang rekan mereka. Namun, cerita lengkap dari sejumlah saksi matayang dihimpun aparat kepolisian mengatakan Khairul tidak sepenuhnya bersalah. Siang itu, mobil yang dikemudikan Khairul dihentikan sejumlah pelajar. Khairul memperlambat mobilnya, dan puluhan pelajar naik serabutan. Sebagian bergelantungan. Seorang pelajar terjatuh dan tergilas ban belakang mobil Metromini itu.
Aksi pelajar lainnya, terjadi tanggal 1 Mei 2000. Metromini T-506 trayek Kampung Melayu - Pondok Kopi dirampok di Jalan I Gusti Ngurah Rai. Pelakunya 6 orang menggunakan seragam sekolah menengah umum (SMU). Mereka menguras habis isi kantong penumpang senilai Rp. 4,7 juta. Para pelajar itu seperti mengetahui kalau di awal bulan tersebut, pengguna jasa angkutan sedang berduit. “Saya tidak menyangka ada pelajar senekad itu. Semua gaji yang saya terima (Rp. 700 ribu) diminta. Saya mau bilang apa kalau mereka memaksa dengan golok,“ tutur Aprianto, salah seorang karyawan swasta yang menjadi korban.
Untungnya, polisi bertindak cepat dan berhasil menangkap mereka. Hanya sebagian dari barang bukti yang dapat diselamatkan, sebagian lainnya sudah dihabiskan pelajar. Alasannya macam-macam. Membeli minuman, mentraktir teman dan diduga ada pula yang menggunakannya untuk membeli narkoba.
Aksi anak-anak yang menjelang dewasa itu tidak hanya dilakukan dalam kelompok kecil. Seperti kejadian 23 Mei 2000, sekitar 30 orang yang kumisnya belum tumbuh menyetop Mayasari Bakti 904 di Jalan Hasyim Ashari Jakarta Pusat. Mereka memerintahkan supir bus berhenti dengan cara menghadang di tengah jalan. Seperti semut yang sudah mengetahui tempat gula, secara serempak puluhan orang bergerak. Ada yang mengacungkan golok, clurit, pisau lipat, dan mengayun-ayunkan tongkat penggebuk.
Sebagian lainnya beraksi merampas perhiasan yang dikenakan penumpang. “Ayo keluarkan uangnya kalau tidak ingin mati!” ancam mereka. Ibu-ibu dan kebanyakan karyawati, hanya bisa menangis sewaktu dompetnya diambil (Media Indonesi, 29 Mei 2000).
Tabiat pelajar yang semakin brutal tersebut merupakan satu di antara berbagai contoh maraknya kekerasan massa. Kebrutalan massa seolah mencapai puncaknya ketika 4 tersangka pencuri sepeda motor tewas dibakar massa. Namun, itu bukan satu-satunya kasus dipertengahan tahun 2000. Masih ada beberapa kasus lainnya yang terjadi di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Tidak tersedia angka pasti berapa persen peningkatan angka kejahatan sepanjang krisis ekonomi. Yang jelas, masyarakat kehilangan rasa aman, karena tidak satu pun dari sekian banyak sudut kota-kota besar, terbebas dari kejahatan.
Apabila dicermati, trend kebiadan kolektif di tengah masyarakat, mulai terlihat antara lain ketika budaya kekerasan aparat mendapat perlawanan di hampir semua lapisan masyarakat. Menurut beberapa warga masyarakat, ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan telah terakumulasi sekian lama. Buktinya, tidak satu pun korban pencurian sepeda motor misalnya, yang berharap miliknya kembali setelah melapor ke polisi. Begitu banyak kasus pencurian sepeda motor, tetapi terlalu sedikit pelaku yang dibekuk aparat. Oleh karena itu, apabila salah seorang pencuri tertangkap basah, siapa pun – apalagi dalam bentuk kerumunan massa – akan melampiaskan kejengkelannya dengan berbagai cara : sekadar ikut memukul dengan benda keras, sampai mencari ban-ban bekas untuk membakar si pelaku.
Salah seorang pelaku pembakaran mengungkapkan bahwa dirinya dan mungkin individu-individu lainnya -- sebetulnya -- tidak menginginkan pembunuhan. Namun persoalannya akan menjadi lain ketika yang bersangkutan berada di tengah massa yang sedang dibakar emosi Setiap orang akan larut ke dalam kehendak massa, dan pembunuhan sesadis apa pun bisa terjadi.
Senada dengan pernyataan di atas, salah seorang pakar kriminologi FISIP-UI mengatakan emosi massa membuat setiap individu tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya merupakan tindak kriminal. Dengan demikian, sebuah tindakan kriminal yang dilakukan secara kolektif (dengan cara pengeroyokan), bisa saja terjadi tanpa mereka sadari.
Terdapat kesan, seolah aparat membiarkan setiap aksi kebrutalan massa terhadap pelaku kejahatan. Sepertinya, hukum tidak menjangkau massa yang melakukan tindak kriminal terhadap penjahat, sesadis apapun. Seharusnya, tidakan itu terkena sanksi hukum. Namum, ketidakmampuan aparat untuk menangkap sedemikian banyak massa menyebabkan masyarakat seolah memperoleh legitimasi untuk melanggar hukum secara kolektif.
Tampaknya, tokoh-tokoh masyarakat di lokasi terjadinya pengeroyokan, tidak berupaya mengadakan pencegahan secara dini. Ulama, Ketua RT, Ketua RW, atau siapapun yang dijadikan tokoh/sesepuh, nyaris tidak berfungsi. Kalaupun ada upaya itu, tokoh masyarakat biasanya menyerah kepada tekanan massa. Atau, si tokoh pun ikut larut dalam kehendak biadab orang sekitarnya. Sering pula, pelaku pengeroyokan bukan dari masyarakat sekitar sehingga mereka mengabaikan himbauan tokoh setempat dan bertindak sekehendaknya.
Di sisi lain, sasaran keberingasan massa bisa menimpa siapa saja. Tidak hanya penjahat yang tertangkap basah, tetapi juga aparat kepolisian yang membuat kesalahan kecil. Inilah yang dialami Sersan Kepala Sofyan dan Sersan Satu Muchyarudin, awal Mei 2000 lalu di Desa Rawaselapan, Lampung Selatan.
Solusi :
Bangsa ini mempunyai UUD yang mengatus tentang criminal da segala hal maka dari tu masyarakat harus sadar akan UUD tersebut dan jangan main hakim sendiri,,jika ingin menangkap seorang tersangka alankah lebih baiknya kita menyerahkna tersangka kepada pihak yang berwajib agar tidak terjadi kekerasan dan main hakim sendiri karena menyakiti sesama mahluk hidup adalah ciptaan TUHAN dan tidak boleh saling menyakiti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar