Sabtu, 31 Maret 2012

Masalah Sosial Kemiskinan

Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup .Menurut data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), angka kemiskinan Indonesia pada 2008 sebesar 37,17 juta dan di 2009 menjadi 33,714 juta. Jika dilihat dari data, angka kemiskinan memang turun yang diperkirakan sekitar 4 jutaan. Walaupun mengalami penurunan, tetap saja saat ini masih banyak orang miskin dan orang tidak mampu di Indonesia.

Kemiskinan saat ini memang merupakan suatu kendala dalam masyarakat ataupun dalam rung lingkup yang lebih luas. Kemiskinan menjadi masalah sosial karena ketika kemiskinan mulai merabah atau bertambah banyak maka angka kriminalitas yang ada akan meningkat. Pusaran arus besar pemikiran sekitar kita saat ini menerjemahkan kemiskinan sebagai pangkal penyebab masalah sosial dan ekonomi. Bersumber konstruksi ini, penanganan pengurangan orang miskin berpotensi bersilang jalan. Pada satu kutub kemiskinan diatasi lewat pemberdayaan –mengasumsikan potensi inheren orang miskin. Kemiskinan menjadi masalah sosial ketika stratifikasi dalm masyarakat sudah menciptakan tingkatan atau garis-garis pembatas. sehingga adanya kejanggalan dalam interaksi antara orang yang berada di tingkatan yang dibwah dan di atasnya.

Kemiskinan juga sangat berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang akhirnya akan merusak lingkungan itu sendiri. Penduduk miskin yang terdesak akan mencari lahan-lahan kritis atau lahan-lahan konservasi sebagai tempat pemukiman. Lahan-lahan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyangga atau mempunyai fungsi konservasi tersebut akan kehilangan fungsi lingkungannya setelah dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman. Akibat berikutnya, maka akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan lingkungan.

Kedua, lapangan pekerjaan, penduduk miskin tanpa mata pencaharian akan memanfaatkan lingkungan sekitar, sebagai usaha dalam memenuhi kebutuhannya tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku. Karena desakan ekonomi, banyak penduduk yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memasuki kawasan-kawasan yang sebenarnya dilindungi, apabila tidak dicegah dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama menyebabkan kawasan lindung akan berkurang bahkan hilang sama sekali, yang berdampak pada hilangnya fungsi lingkungan (sebagai pemberi jasa lingkungan)

Solusinya:
Menciptakan lapangan kerja yang mampu menamapung tenaga kerja sehingga pengangguran semakin rendah
Memberikan subsidi pada kebutuhan pokok manusia
Menghapus korupsi dan menggalakan program zakat

Rabu, 28 Maret 2012

Otonomi daerah di Indonesia dan Permasalahannya

Otonomi daerah di Indonesia dan Permasalahannya
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
1.    Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2.    Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1]
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]:
1.    Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2.    Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3.    Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
1.    Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
2.    Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3.    Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

Masalah Otonomi Daerah

Permasalahan Pokok Otonomi Daerah:
1. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi 
daerah yang belum mantap
2. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan penyesuaian peraturan perundangan-undangan yang ada dengan UU 22/ 1999 masih sangat terbatas 
3. Sosialisasi UU 22/1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan meluas
4. Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemah
5. Pengaruh perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah masyarakat serta pengaruh globalisasi yang tidak mudah dikelola
6. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah
7. Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsepotonomi yang proporsional kedalam pengaturan konsepotonomi yang proporsional ke dalampengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah 
dalam kerangka NKRI


Permasalahan pokok tersebut terefleksi dalam 7 elemen pokok yang membentuk pemerintah daerah yaitu;

1. kewenangan, 
2. kelembagaan,
3. kepegawaian,
4. keuangan, 
5. perwakilan, 
6. manajemen pelayanan publik, dan 
7. pengaasan.
Kesimpulan:
Kesimpulan Daripembahasan diatas maka didapat kesimpulan sebagai berikut: Otonomi daerah adalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan.  Wewenang pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah pemerintah daerah melaksanakan sistem pemerintahanya sesuai dengan undang-undang pemerintah pusat. Dampak positif otonomi daerah adalah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggidari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah juga akan lebih tepat sasaran dan tidak membutuhkan waktu yang lama sehingga akan lebih efisien. Dampak negative dari otonomi daerah adalah munculnya kesempatan bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, munculnya pertentangan antara pemerintah daerah dengan pusat, serta timbulnya kesenjangan antara daerah yang pendapatannya tinggi dangan daerah yang masih berkembang.

Wawasan Nusantara

Wawasan Nusantara
Wawasan nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam pelaksanannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional.

Latar belakang
Falsafah pancasila
Nilai-nilai pancasila mendasari pengembangan wawasan nasional. Nilai-nilai tersebut adalah:
Penerapan Hak Asasi Manusia (HAM), seperti memberi kesempatan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing- masing.
Mengutamakan kepentingan masyarakat daripada individu dan golongan.
Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
Aspek kewilayahan nusantara
Pengaruh geografi merupakan suatu fenomena yang perlu diperhitungkan, karena Indonesia kaya akan aneka Sumber Daya Alam (SDA) dansuku bangsa.
Aspek sosial budaya
Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa yang masing-masing memiliki adat istiadat, bahasa, agama, dan kepercayaan yang berbeda - beda, sehingga tata kehidupan nasional yang berhubungan dengan interaksi antargolongan mengandung potensi konflik yang besar.mengenai berbagai macam ragam budaya 
Aspek sejarah
Indonesia diwarnai oleh pengalaman sejarah yang tidak menghendaki terulangnya perpecahan dalam lingkungan bangsa dan negara Indonesia. Hal ini dikarenakan kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil dari semangat persatuan dan kesatuan yang sangat tinggi bangsa Indonesia sendiri. Jadi, semangat ini harus tetap dipertahankan untuk persatuan bangsa dan menjaga wilayah kesatuan Indonesia.

Fungsi
Gambaran dari isi Deklarasi Djuanda.
Wawasan nusantara sebagai konsepsi ketahanan nasional, yaitu wawasan nusantara dijadikan konsep dalam pembangunan nasional, pertahanan keamanan, dan kewilayahan.
Wawasan nusantara sebagai wawasan pembangunan mempunyai cakupan kesatuan politik, kesatuan ekonomi, kesatuan sosial dan ekonomi, kesatuan sosial dan politik, dan kesatuan pertahanan dan keamanan.
Wawasan nusantara sebagai wawasan pertahanan dan keamanan negara merupakan pandangan geopolitik Indonesia dalam lingkup tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan yang meliputi seluruh wilayah dan segenap kekuatan negara.
Wawasan nusantara sebagai wawasan kewilayahan, sehingga berfungsi dalam pembatasan negara, agar tidak terjadi sengketa dengan negara tetangga. Batasan dan tantangan negara Republik Indonesia adalah:
Risalah sidang BPUPKI tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 tentang negara Republik Indonesia dari beberapa pendapat para pejuang nasional. Dr. Soepomo menyatakan Indonesia meliputi batas Hindia Belanda, Muh. Yamin menyatakan Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, SundaKecil, Borneo, Selebes, Maluku-Ambon, Semenanjung Melayu, Timor, Papua, Ir. Soekarno menyatakan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Ordonantie (UU Belanda) 1939, yaitu penentuan lebar laut sepanjang 3 mil laut dengan cara menarik garis pangkal berdasarkan garis air pasang surut atau countour pulau/darat. Ketentuan ini membuat Indonesia bukan sebagai negara kesatuan, karena pada setiap wilayah laut terdapat laut bebas yang berada di luar wilayah yurisdiksi nasional.
Deklarasi Juanda, 13 Desember 1957 merupakan pengumuman pemerintah RI tentang wilayah perairan negara RI, yang isinya:
Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi berdasarkan garis pasang surut (low water line), tetapi pada sistem penarikan garis lurus(straight base line) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik - titik ujung yang terluar dari pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah RI.
Penentuan wilayah lebar laut dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut.
Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagai rezim Hukum Internasional, di mana batasan nusantara 200 mil yang diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia menjadi utuh dan tidak terpecah lagi.

Tujuan
Tujuan wawasan nusantara terdiri dari dua, yaitu:
Tujuan nasional, dapat dilihat dalam Pembukaan UUD 1945, dijelaskan bahwa tujuan kemerdekaan Indonesia adalah "untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dankeadilan sosial".
Tujuan ke dalam adalah mewujudkan kesatuan segenap aspek kehidupan baik alamiah maupun sosial, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan bangsa Indonesia adalah menjunjung tinggi kepentingan nasional, serta kepentingan kawasan untuk menyelenggarakan dan membina kesejahteraan, kedamaian dan budi luhur serta martabat manusia di seluruh dunia.

Implementasi
Kehidupan politik
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengimplementasikan wawasan nusantara, yaitu:[5]
Pelaksanaan kehidupan politik yang diatur dalam undang-undang, seperti UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, dan UU Pemilihan Presiden. Pelaksanaan undang-undang tersebut harus sesuai hukum dan mementingkan persatuan bangsa.Contohnya seperti dalam pemilihan presiden, anggota DPR, dan kepala daerah harus menjalankan prinsip demokratis dan keadilan, sehingga tidak menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pelaksanaan kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Indonesia harus sesuai denga hukum yang berlaku. Seluruh bangsa Indonesia harus mempunyai dasar hukum yang sama bagi setiap warga negara, tanpa pengecualian. Di Indonesia terdapat banyak produk hukum yang dapat diterbitkan oleh provinsi dan kabupaten dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku secara nasional.
Mengembagkan sikap hak asasi manusia dan sikap pluralisme untuk mempersatukan berbagai suku, agama, dan bahasa yamg berbeda, sehingga menumbuhkan sikap toleransi.
Memperkuat komitmen politik terhadap partai politik dan lembaga pemerintahan untuk menigkatkan semangat kebangsaan dan kesatuan.
Meningkatkan peran Indonesia dalam kancah internasional dan memperkuat korps diplomatik ebagai upaya penjagaan wilayah Indonesia terutama pulau-pulau terluar dan pulau kosong.
Kehidupan ekonomi
Wilayah nusantara mempunyai potensi ekonomi yang tinggi, seperti posisi khatulistiwa, wilayah laut yang luas, hutan tropis yang besar, hasil tambang dan minyak yang besar, serta memeliki penduduk dalam jumlah cukup besar. Oleh karena itu, implementasi dalam kehidupan ekonomi harus berorientasi pada sektor pemerintahan, pertanian, dan perindustrian.
Pembangunan ekonomi harus memperhatikan keadilan dan keseimbangan antardaerah. Oleh sebab itu, dengan adanya otonomi daerah dapat menciptakan upaya dalam keadilan ekonomi.
Pembangunan ekonomi harus melibatkan partisipasi rakyat, seperti dengan memberikan fasilitas kredit mikro dalam pengembangan usaha kecil.

Latar belakang dan proses terbentuknya wawasan nusantara setiap bangsa
Salah satu persyaratan mutlak harus dimiliki oleh sebuah negara adalah wilayah kedaulatan, di samping rakyat danpemerintahan yang diakui. Konsep dasar wilayah negara kepulauan telah diletakkan melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Deklarasi tersebut memiliki nilai sangat strategis bagi bangsa Indonesia, karena telah melahirkan konsep Wawasan Nusantara yang menyatukan wilayah Indonesia. Laut Nusantara bukan lagi sebagai pemisah, akan tetapi sebagai pemersatu bangsa Indonesia yang disikapi sebagai wilayah kedaulatan mutlak Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada bangsa yang secara eksplisit mempunyai cara bagaimana ia memandang tanah airnya beserta lingkungannya. Cara pandang itu biasa dinamakan wawasan nasional. Sebagai contoh, Inggris dengan pandangan nasionalnya berbunyi: “Britain rules the waves”. Ini berarti tanah Inggris bukan hanya sebatas pulaunya, tetapi juga lautnya.
Tetapi cukup banyak juga negara yang tidak mempunyai wawasan, seperti: ThailandPerancisMyanmar dan sebagainya. Indonesia wawasan nasionalnya adalah wawasan nusantara yang disingkat Wanus. Wanus ialah cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensinya yang sarwa nusantara dan penekanannya dalam mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah lingkungannya yang sarwa nusantara itu. Unsur-unsur dasar wasantara itu ialah: wadah (contour atau organisasi), isi, dan tata laku. Dari wadah dan isi wasantara itu, tampak adanya bidang-bidang usaha untuk mencapai kesatuan dan keserasian dalam bidang-bidang:
Satu kesatuan wilayah
Satu kesatuan bangsa
Satu kesatuan budaya
Satu kesatuan ekonomi
Satu kesatuan hankam.
Jelaslah disini bahwa Wanus adalah pengejawantahan falsafah Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah negara Republik Indonesia. Kelengkapan dan keutuhan pelaksanaan Wanus akan terwujud dalam terselenggaranya ketahanan nasional Indonesia yang senantiasa harus ditingkatkan sesuai dengan tuntutan zaman. Ketahanan nasional itu akan dapat meningkat jika ada pembangunan yang meningkat, dalam “koridor” Wanus.

Jumat, 09 Maret 2012

Fenomena tindak kekerasan dan kerusuhan massal

Akhir-akhir ini, masyarakat cenderung memiliki persep¬si bahwa tindakan membalas kejahatan dengan kejahatan (kekerasan) merupakan sesuatu yang benar. Tampaknya, secara perlahan namun pasti, tindakan melakukan kekerasan terhadap para pelaku kejahatan tersebut mengalami proses ke arah legalitas.
Kebiadaban kolektif, relatif menjadi 'trend' di tengah masyarakat. Sangat sulit untuk melacak : di mana awal gejala kebrutalan massa ini. Yang pasti, apabila dicermati, berita-berita mengenai 'pengadilan brutal' di tengah masyarakat yang dilansir surat kabar atau media massa lain, mulai terlihat sejak dua tahun terakhir
Ketika seorang pelaku kejahatan tertangkap basah oleh masyarakat, hampir bisa dipastikan ia akan babak belur. Masyarakat seolah tidak perduli betapa pun kecilnya kejaha¬tan yang dilakukan tersangka. Mereka juga tidak berusaha bertanya telah berapa kali seseorang mencuri, dan untuk apa melakukan tindak kriminal seperti itu. Massa juga seolah tidak pernah menyesal ketika korban yang 'diadili secara brutal' tersebut ternyata bukan pencuri.
Mencermati 'korban' kebrutalan massa, tampaknya tidak ada klasifikasi yang jelas mengenai status penjahat bagi masyarakat. Semuanya dianggap sama, baik pengutil, pencuri, maupun pelaku tindak kriminal kelas kakap. Masyarakat tidak memerlukan pembuktian atau bahkan saksi mata. Ketika terdengar teriakan 'maling' dan seseorang menunjuk pelaku, massa dengan cepat mengejar, menangkap, dan memukulinya. Telinga massa seolah tertutup untuk mendengar erang kesakitan, rintih minta ampun, atau penyangkalan tersangka.
Republika (21 Mei 2000) mengungkapkan sebuah berita mengenaskan. Di Desa Kalinowo, Kecamatan Badang, Kebumen, Jawa Tengah, Dasimun (53) dihakimi massa hingga tewas sete¬lah kedapatan mencuri seekor ayam. Prosesinya cukup menarik. Ia sempat dibawa ke balai desa dan diinterogasi.
Kepada petugas kepolisian dan aparat desa, Dasimun mengatakan ia terpaksa mencuri karena anak satu-satunya merengek terus ingin makan daging ayam di malam lebaran. Masyarakat tidak mau percaya. Dasimun diseret keluar balai desa dan dipukuli beramai-ramai. Ritus pembataian baru berhenti setelah Dasimun roboh, dan tidak bisa lagi mengerang kesakitan. Seluruh tubuhnya, termasuk muka dan kepala, penuh luka memar. Ia tewas dalam perjalanan ke RSU Kebumen. Masyarakat bersorak.
Kisah tragis di atas adalah satu dari sekian puluh tindak kriminal kolektif masyarakat terhadap pelaku pencurian. Beberapa peristiwa memilukan yang sempat penulis himpun dari berbagai media massa menyebutkan bahwa selama tahun 2000 tercatat sekitar 30 kasus tindak kriminal kolektif warga terhadap pelaku kejahatan. Mungkin bisa lebih banyak lagi apabila ditambah dengan peristiwa-peristiwa yang luput dari perhatian penulis.
Tidak hanya masyarakat, pelajar pun mulai kejangkitan virus kebiadaban ini. Satu dari beberapa peristiwa sepanjang tahun 2000, tepatnya pada bulan Maret, dilakukan pelajar. Mereka mengeroyok Khairul Sagita, sopir Metromini B-92, di Jalan Panjang Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Khairul, menurut sejumlah pelajar, bersalah karena menabrak hingga tewas seorang rekan mereka. Namun, cerita lengkap dari sejumlah saksi matayang dihimpun aparat kepolisian mengatakan Khairul tidak sepenuhnya bersalah. Siang itu, mobil yang dikemudikan Khairul dihentikan sejumlah pelajar. Khairul memperlambat mobilnya, dan puluhan pelajar naik serabutan. Sebagian bergelantungan. Seorang pelajar terjatuh dan tergilas ban belakang mobil Metromini itu.
Aksi pelajar lainnya, terjadi tanggal 1 Mei 2000. Metromini T-506 trayek Kampung Melayu - Pondok Kopi dirampok di Jalan I Gusti Ngurah Rai. Pelakunya 6 orang menggunakan seragam sekolah menengah umum (SMU). Mereka menguras habis isi kantong penumpang senilai Rp. 4,7 juta. Para pelajar itu seperti mengetahui kalau di awal bulan tersebut, pengguna jasa angkutan sedang berduit. “Saya tidak menyangka ada pelajar senekad itu. Semua gaji yang saya terima (Rp. 700 ribu) diminta. Saya mau bilang apa kalau mereka memaksa dengan golok,“ tutur Aprianto, salah seorang karyawan swasta yang menjadi korban.

Untungnya, polisi bertindak cepat dan berhasil menangkap mereka. Hanya sebagian dari barang bukti yang dapat diselamatkan, sebagian lainnya sudah dihabiskan pelajar. Alasannya macam-macam. Membeli minuman, mentraktir teman dan diduga ada pula yang menggunakannya untuk membeli narkoba.
Aksi anak-anak yang menjelang dewasa itu tidak hanya dilakukan dalam kelompok kecil. Seperti kejadian 23 Mei 2000, sekitar 30 orang yang kumisnya belum tumbuh menyetop Mayasari Bakti 904 di Jalan Hasyim Ashari Jakarta Pusat. Mereka memerintahkan supir bus berhenti dengan cara menghadang di tengah jalan. Seperti semut yang sudah mengetahui tempat gula, secara serempak puluhan orang bergerak. Ada yang mengacungkan golok, clurit, pisau lipat, dan mengayun-ayunkan tongkat penggebuk.
Sebagian lainnya beraksi merampas perhiasan yang dikenakan penumpang. “Ayo keluarkan uangnya kalau tidak ingin mati!” ancam mereka. Ibu-ibu dan kebanyakan karyawati, hanya bisa menangis sewaktu dompetnya diambil (Media Indonesi, 29 Mei 2000).
Tabiat pelajar yang semakin brutal tersebut merupakan satu di antara berbagai contoh maraknya kekerasan massa. Kebrutalan massa seolah mencapai puncaknya ketika 4 tersangka pencuri sepeda motor tewas dibakar massa. Namun, itu bukan satu-satunya kasus dipertengahan tahun 2000. Masih ada beberapa kasus lainnya yang terjadi di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Tidak tersedia angka pasti berapa persen peningkatan angka kejahatan sepanjang krisis ekonomi. Yang jelas, masyarakat kehilangan rasa aman, karena tidak satu pun dari sekian banyak sudut kota-kota besar, terbebas dari kejahatan.
Apabila dicermati, trend kebiadan kolektif di tengah masyarakat, mulai terlihat antara lain ketika budaya kekerasan aparat mendapat perlawanan di hampir semua lapisan masyarakat. Menurut beberapa warga masyarakat, ketidakpercayaan terhadap aparat keamanan telah terakumulasi sekian lama. Buktinya, tidak satu pun korban pencurian sepeda motor misalnya, yang berharap miliknya kembali setelah melapor ke polisi. Begitu banyak kasus pencurian sepeda motor, tetapi terlalu sedikit pelaku yang dibekuk aparat. Oleh karena itu, apabila salah seorang pencuri tertangkap basah, siapa pun – apalagi dalam bentuk kerumunan massa – akan melampiaskan kejengkelannya dengan berbagai cara : sekadar ikut memukul dengan benda keras, sampai mencari ban-ban bekas untuk membakar si pelaku.
Salah seorang pelaku pembakaran mengungkapkan bahwa dirinya dan mungkin individu-individu lainnya -- sebetulnya -- tidak menginginkan pembunuhan. Namun persoalannya akan menjadi lain ketika yang bersangkutan berada di tengah massa yang sedang dibakar emosi Setiap orang akan larut ke dalam kehendak massa, dan pembunuhan sesadis apa pun bisa terjadi.
Senada dengan pernyataan di atas, salah seorang pakar kriminologi FISIP-UI mengatakan emosi massa membuat setiap individu tidak sadar bahwa apa yang dilakukannya merupakan tindak kriminal. Dengan demikian, sebuah tindakan kriminal yang dilakukan secara kolektif (dengan cara pengeroyokan), bisa saja terjadi tanpa mereka sadari.
Terdapat kesan, seolah aparat membiarkan setiap aksi kebrutalan massa terhadap pelaku kejahatan. Sepertinya, hukum tidak menjangkau massa yang melakukan tindak kriminal terhadap penjahat, sesadis apapun. Seharusnya, tidakan itu terkena sanksi hukum. Namum, ketidakmampuan aparat untuk menangkap sedemikian banyak massa menyebabkan masyarakat seolah memperoleh legitimasi untuk melanggar hukum secara kolektif.
Tampaknya, tokoh-tokoh masyarakat di lokasi terjadinya pengeroyokan, tidak berupaya mengadakan pencegahan secara dini. Ulama, Ketua RT, Ketua RW, atau siapapun yang dijadikan tokoh/sesepuh, nyaris tidak berfungsi. Kalaupun ada upaya itu, tokoh masyarakat biasanya menyerah kepada tekanan massa. Atau, si tokoh pun ikut larut dalam kehendak biadab orang sekitarnya. Sering pula, pelaku pengeroyokan bukan dari masyarakat sekitar sehingga mereka mengabaikan himbauan tokoh setempat dan bertindak sekehendaknya.
Di sisi lain, sasaran keberingasan massa bisa menimpa siapa saja. Tidak hanya penjahat yang tertangkap basah, tetapi juga aparat kepolisian yang membuat kesalahan kecil. Inilah yang dialami Sersan Kepala Sofyan dan Sersan Satu Muchyarudin, awal Mei 2000 lalu di Desa Rawaselapan, Lampung Selatan.

Solusi :
Bangsa ini mempunyai UUD yang mengatus tentang criminal da segala hal maka dari tu masyarakat harus sadar akan UUD tersebut dan jangan main hakim sendiri,,jika ingin menangkap seorang tersangka alankah lebih baiknya kita menyerahkna tersangka kepada pihak yang berwajib agar tidak terjadi kekerasan dan main hakim sendiri karena menyakiti sesama mahluk hidup adalah ciptaan TUHAN dan tidak boleh saling menyakiti.

Penyalahgunaan Jabatan dan Kedudukan Oleh Anggota Dewan(DPR)

Pada era reformasi ini banyak sekali anggota dewan kita yang hanya mementingkan kekuasaan da kedudukannya,,mereka jarang sekali ada yang peduli dengan rakyat misalnya menghaburkan anggara untuk alasan studi banding ke luar negri padahal merka ke sana hanya untuk liburan dengan menggunakan uang rakyat dan sekarang yang lagi hangat adalah mereka membuat sebuah ruang banggar  rapat yang menghabiskan dan anggran mencapai 20 miliar,rumah dinas,uang laptop,minta gratis ongkos tol,minta perlakuan VIP di semua bandara dan belum lagi para anggota DPR yang terkena kasus korupsi padahal semua yang mereka pakai adalah dana dari rakyat,,situasi yang super mewah ini harus kita stop karena sangat membebani anggarab APBN negara dan juga ksihan rakya miskin yang hidup susah melihat para petingginya yang katanya berjuang untuk rakyat malah enak-enakan dangan fasilitas yang super mewah.

Solusi:
Para anggota dewan harus sadar bahwa mereka mempunyai kekuasaan itu karena di pilih oleh rakyat,,maka dari itu mereka harus terjun langsung ke lapangan untuk meberanta maslah kemiskinan,pendidikan,kesehatan dan kesejahteraan rakyat

HILANGNYA PANCASILA PENYEBAB HILANGNYA BANGSA INDONESIA DAN HANCURNYA NKRI

Pancasila adalah Dasar Indonesia Merdeka dinyatakan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam persidangan Dokuritsyu Zyunbi Tyosa Kai. Kemerdekaan Indonesia, sebagai lanjutan Amanat Sumpah Pemuda, bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat hidup Orang-orang Bangsa Indonesia Asli. Sehingga, Pancasila berfungsi sebagai sarana untuk menegakkan tujuan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Sumpah Pemuda, yang telah melahirkan Bangsa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928, memaknai terbangunnya komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup pribumi atau Orang-orang Bangsa Indonesia Asli. Komitmen ini, kemudian, telah tumbuh menjadi sifatnya Bangsa Indonesia.
Mengingat yang berhak menentukan sifat dari suatu nama hanyalah Sang Maha Pencipta, maka sifat Bangsa Indonesia tersebut akan bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh setiap ciptaan Allah SWT termasuk Manusia, Malaikat, Jin, dan Alam semesta. Oleh karena itu, sifat Bangsa Indonesia ini akan berfungsi sebagai sari hukumnya Bangsa Indonesia. Sehingga, Pancasila, sebagai sarana untuk menegakkan sifatnya Bangsa Indonesia, akan berfungsi sebagai sumber dari segala sumber hukum Bangsa Indonesia.
Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber hukum Bangsa Indonesia, akan berfungsi sebagai keyakinan standar Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hukum-hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Sehingga, Pancasila juga berfungsi sebagai falsafah bangsa.
Sebagai falsafah bangsa, Pancasila akan tumbuh menjadi sikap keberpihakan Bangsa Indonesia di dalam mencapai Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia yang dimaknai oleh tegaknya Kedaulatan Rakyat. Sehingga, terbangunlah standar nilai Bangsa Indonesia yang terurai di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berfungsi sebagai dasar dibangunnya norma-norma yang mengatur kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia. Artinya, Pancasila berfungsi sebagai dimensi bagi Bangsa Indonesia.
Aktualisasi Pancasila di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai sifat, falsafah, dan dimensi bangsa harus menjadi kenyataan, agar Bangsa Indonesia tetap ada, hidup, dan abadi sampai akhirul zaman. Oleh karena itu, hilangnya Pancasila di dalam kehidupan Bangsa Indonesia akan menyebabkan hilangnya Bangsa Indonesia dan hancurnya NKRI.
Di dalam merealisasikan perjalanan Indonesia Merdeka, Bung Karno, Presiden RI pertama, telah menyatakan amanatnya bahwa dari mempelajari sejarah orang bisa menemukan hukum-hukum yang menguasai kehidupan manusia. Bangsa Indonesia tariklah moral dari hukum ini.
Amanat ini memiliki jangkauan waktu yang berorientasi jauh ke depan di dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia yang dicita-citakan oleh para Banpak-bapak pendiri Republik Indonesia (the founding fathers). Namun hingga kini, amanat tersebut belum pernah terurai secara rinci seperti apa sebenarnya bangunan sistem hukum Bangsa Indonesia yang seharusnya terbangun dari sejarahnya.
Bangunan sistem hukum Bangsa Indonesia yang benar tidak akan membawa kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia dalam kesesatan. Kesesatan yang terjadi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia dapat diamati dari tidak berjalannya Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Sehingga, Pancasila sebagai falsafah bangsa belum mampu membangun sikap keberpihakan kita sebagai Bangsa Indonesia kepada tiap-tiap sila di dalam Pancasila untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, uraian bagaimana sebenarnya bangunan sistem hukum Bangsa Indonesia di dalam menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara harus terbangun? Bagaimana sebenarnya peran dan fungsi Pancasila harus terbangun di dalam bangunan sistem hukum Bangsa Indonesia untuk mencapai Indonesia adil dan makmur? Bagaimana kondisi realitas kehidupan Bangsa Indonesia di dalam menjalankan Pancasila sebagai sifat, falsafah, dan dimensi bangsa?
I.          Bangunan Sistem Hukum Bangsa Indonesia
Bangunan sistem hukum merupakan sekumpulan kejadian-kejadian yang tersusun secara berurutan dan mampu menunjukkan apakah suatu proses kejadian yang telah, sedang, dan akan berlangsung memenuhi standar-standar kebenaran. Oleh karena itu, bangunan ini harus berangkat dari suatu kearifan yang terbangun dari pengetahuan yang didasarkan pada suatu informasi dan data yang benar.
Berdasarkan perjalanan sejarah bangsa, Bangsa Indonesia terlahir pada tanggal 28 Oktober 1928 melalui Sumpah Pemuda di dalam Kongres Pemuda II, yang telah dilaksanakan oleh pemuda-pemuda (yong-yong) yang berasal dari pulau dan kepulauan yang ada di wilayah Indonesia. Kelahiran Bangsa Indonesia adalah merupakan suatu bentuk perjuangan kebangsaan yang dilaksanakan oleh Orang-orang Bangsa Indonesia Asli untuk mengangkat harkat dan martabat hidup kaum pribumi yang merupakan kelompok masyarakat kelas terbawah. Kelompok kelas masyarakat di atasnya terdiri dari kaum ningrat pribumi dan para pedagang dari Asia Timur, seperti Cina, India, dan Arab. Adapun kelompok masyarakat kelas teratas adalah bangsa Belanda dan orang-orang bangsa Eropa lainnya.
Setelah Bangsa Indonesia terlahir, perjuangan kebangsaan berikutnya adalah merebut kemerdekaan Bangsa Indonesia. Perjuangan ini dilakukan oleh Orang-orang Bangsa Indonesia Asli dan dibantu oleh bangsa-bangsa asing yang tinggal dan hidup di wilayah Indonesia. Sehingga, setelah kemerdekaan Bangsa Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, atau setelah hampir 17 tahun sejak Bangsa Indonesia terlahir, Negara Republik Indonesia kemudian dibentuk, yaitu tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945.
Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia (NKRI) telah terbangun dari bangsanya yang lahir terlebih dahulu dan negaranya terbentuk kemudian. Dengan kata lain, Bangsa Indonesia adalah pondasi dari NKRI. Dan Negara Republik Indonesia adalah bangunan atas dari NKRI sebagai bentuk pola hubungannya.
Dari pola hubungan ini, dapatlah dibangun pengetahuan yang menunjukkan bahwa jika Bangsa Indonesia bermasalah, maka Negara Republik Indonesia pun akan bermasalah. Sehingga, secara keseluruhan bangunan NKRI akan bermasalah. Oleh karena itu, semakin kuatnya Bangsa Indonesia akan menyebabkan semakin kokohnya bangunan NKRI.
Secara detail, melalui Sumpah Pemuda Bangsa Indonesia telah terbangun dari pemuda-pemuda kaum pribumi (yong-yong) yang berasal dari pulau dan kepulauan yang kemudian mereka menamakan dirinya sebagai Orang-orang Bangsa Indonesia Asli. Komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup Orang-orang Bangsa Indonesia asli telah tubuh menjadi sifatnya Bangsa Indonesia. Adapun, pemuda-pemuda pergerakan kebangsaan adalah sebagai bentuknya.
Setelah Kemerdekaan Bangsa Indonesia tercapai, unsur pembentuk Bangsa Indonesia telah berubah menjadi Orang-orang Bangsa Indonesia Asli ditambah dengan bangsa-bangsa asing yang telah ditetapkan menjadi warga negara berdasarkan undang-undang. Tetapi, sifatnya Bangsa Indonesia tidak boleh berubah. Berubahnya sifat Bangsa Indonesia akan menyebabkan hilangnya Bangsa Indonesia yang lahir pada tanggal 28 Oktober 1928 melalui Sumpah Pemuda. Oleh karena itu, sifat Bangsa Indonesia ini akan bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga.
Mengingat sesuatu yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga itu adalah suatu hukum, maka komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup Orang-orang Bangsa Indonesia Asli sebagai sifatnya Bangsa Indonesia akan menjadi sari hukumnya Bangsa Indonesia. oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa bangunan sistem hukum Bangsa Indonesia harus terbangun dari hukum yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga.
Hukum yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga akan membentuk suatu keyakinan. Keyakinan ini adalah sesuatu yang melatarbelakangi kita untuk Bangsa Indonesia bersikap untuk melakukan suatu kegiatan. Produk dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan tersebut akan tumbuh menjadi nilainya Bangsa Indonesia. Kemudian, dari nilai yang tumbuh inilah akan dibangun aturan-aturan yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa keyakinan, nilai, dan norma adalah juga hukum. Tetapi, sifatnya secara berurutan akan berubah menjadi semakin tidak pasti, semakin tidak tetap (berubah-ubah), dan semakin belum tentu diterima oleh siapapun juga.
Norma sebagai aturan-aturan yang dibangun untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara Bangsa Indonesia akan bersifat tidak pasti, berubah-ubah, dan belum tentu diterima oleh siapapun juga. Sehingga, agar ada kepastian hukum, butir-butir aturan yang ada di dalam suatu norma harus dikaji ulang terhadap hukum yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga. Hukum ini adalah sari hukumya Bangsa Indonesia, yaitu komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup Orang-orang Bangsa Indonesia Asli.
Dari bangunan sistem hukum diatas, keyakinan yang terbentuk dari hukum yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga bersama-sama dengan nilai yang tumbuh dari keyakinan dan menjadi dasar dibangunnya suatu norma akan menjadi elemen moral Bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan moral adalah suatu aturan standar yang ada dalam “tubuh kita” yang dapat bersifat subjektif atau bersifat objektif.
II.        Peran dan Fungsi Pancasila
Komitmen untuk mengangkat harkat dan martabat hidup Orang-orang Bangsa Indonesia asli merupakan sifat Bangsa Indonesia yang terbentuk sejak Bangsa Indonesia terlahir. Sifat ini bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga. Sehingga, sifatnya Bangsa Indonesia tersebut telah tumbuh menjadi sari hukumnya Bangsa Indonesia.
Hukum yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga adalah merupakan standar dari keseluruhan bangunan sistem hukum Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sebagai standar, hukum ini akan menstandarkan keyakinan Bangsa Indonesia yang beraneka ragam, sehingga diperoleh keyakinan standar bangsa yang disebut Pancasila.
Oleh karena itu, Pancasila merupakan keyakinan standar yang akan berfungsi sebagai sarana untuk menegakkan sifatnya Bangsa Indonesia, yang telah menjadi sari hukumnya Bangsa Indonesia. Sehingga, dikatakan bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum Bangsa Indonesia.
Sebagai keyakinan standar, Pancasila juga akan berfungsi sebagai falsafah bangsa. maknanya, falsafah Bangsa Indonesia adalah keyakinan standar yang di standarkan dari keyakinan yang beraneka ragam oleh hukum yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga.
Oleh karena itu, Pancasila sebagai falsafah bangsa adalah merupakan sikap keberpihakan kita sebagai Bangsa Indonesia kepada setiap sila-sila di dalam Pancasila. Yaitu, sikap keberpihakan kita sebagai Bangsa Indonesia kepada: (1) Tuhan Yang Maha Esa; (2) Manusia yang adil dan beradab; (3) usaha untuk tetap menjaga keutuhan Bangsa Indonesia; (4) Rakyat yang dipimpin oleh para pemimpin yang selalu menambah ilmu pengetahuannya dalam kebijaksanaan lembaga bangsa/ lembaga negara untuk mencapai Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Karena Pancasila adalah falsafah bangsa atau sikap keberpihakan kita sebagai Bangsa Indonesia, maka Pancasila pun akan berfungsi sebagai dimensi. Oleh karena itu, Bangsa Indonesia harus mampu membangun ukuran-ukuran untuk mematerialkan dimensi Pancasila tersebut.
Mengingat falsafah bangsa adalah keyakinan standar yang distandarkan dari keyakinan bangsa yang beranekaragam oleh hukum yang bersifat pasti, tetap, dan diterima oleh siapapun juga, maka falsafah bangsa adalah merupakan standar. Pancasila sebagai falsafah bangsa akan menghasilkan UUD 1945 sebagai standar nilai Bangsa Indonesia di dalam menegakkan Negara Republik Indonesia.
Sebagai standar, falsafah bangsa akan menstandarkan nilai yang tumbuh dan terbangun di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga diperoleh standar nilai dari aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan. Standar nilai yang terbangun dari aktivitas yang dikerjakan akan bermula dari standar nilai budaya, yang disebut Kreativisme. Kreativisme akan menghasilkan standar nilai hukum yang disebut Gotong Royong. Kemudian, standar nilai sosial yang distandarkan oleh Gotong Royong dari pola interaksi sosial yang terbangun disebut Kesetiakawanan Sosial. Kesetiakawanan Sosial ini akan menstandarkan dinamika politik yang tumbuh dan berkembang, sehingga diperoleh standar nilai politik Bangsa Indonesia yang disebut Musyawarah. Pembangunan ekonomi bangsa dengan Musyawarah akan menghasilkan standar nilai ekonomi, yang disebut Koperasi. Koperasi kemudian akan menstandarkan pengembangan lingkungan, sehingga diperoleh standar nilai lingkungan, yang disebut Sistem Tanah Adat.
Oleh karena itu, ukuran-ukuran yang harus dibangun untuk mematerialkan dimensi Pancasila meliputi: (1) Kreativisme; (2) Gotong royong; (3) Kesetiakawanan Sosial; (4) Musyawarah; (5)Koperasi; (6) Sistem Tanah Adat. Alat-alat ukur tersebut harus teralokasikan di dalam Sistem Tata Ruang sebagai norma standar Bangsa Indonesia. sehingga, pembangunan untuk mencapai Indonesia adil dan makmur dapat secara rinci terkukur. Dengan kata lain, ke delapan terminologi yang digunakan dari Pancasila hingga Sistem Tata Ruang dapat disebut sebagai Koridor 8 Standar Moral dan Etika Bangsa.
III.       Realitas Kondisi Kehidupan Bangsa dan Negara
Berdasarkan keberadaan Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia mengindikasikan bahwa seakan-akan NKRI terbangun dari negaranya dulu lahir, baru bangsanya terbentuk kemudian. Ini adalah bertentangan dengan realitas sejarah perjalanan Bangsa Indonesia yang sebenar-benarnya. Sehingga, kondisi ini telah menyebabkan bangunan sistem hukum yang terbangun berbeda dari yang seharusnya. Oleh karena itu, Bangsa Indonesia telah tersesat di dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara sejak tanggal 18 Agustus 1945.
Kesesatan ini, pada akhirnya, tidak mampu menggunakan dan menjalankan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Bangsa Indonesia. Sehingga, Pancasila yang seharusnya menjadi falsafah bangsa tidak pernah terealisasi menjadi suatu sikap keberpihakan kita sebagai bangsa secara jelas. Oleh karenanya, ukuran-ukuran dimensi Pancasila pun tidak pernah terbangun di dalam menunjang kehidupan berbangsa dan bernegara untuk mencapai Indonesia adil dan makmur.
Maknanya, Bangsa Indonesia telah hidup dengan menggunakan sistem bangsa-bangsa lain yang secara historis berbeda, baik secara budaya, secara hukum, secara sosial, secara politik, secara ekonomi, dan secara lingkungan. Akhirnya, harkat dan martabat hidup Orang-orang Bangsa Indonesia Asli yang dicita-citakan oleh Sumpah Pemuda hingga sekarang tidak pernah terangkat.

Solusi :
sistem hukum Bangsa Indonesia adalah merupakan standar moral Bangsa Indonesia yang berfungsi sebagai keyakinan standar dan sebagai standar nilai secara berurutan. Agar Bangsa Indonesia tetap ada hidup sepanjang zaman dan NKRI tetap kokoh, maka Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Bangsa Indonesia harus dikembalikan dan ditegakkan, sehingga Pancasila sebagai falsafah bangsa akan terealisasi menjadi sikap keberpihakan yang jelas dari kita sebagai anak bangsa. Pada akhirnya, dimensi Pancasila akan terbangun dan menjadi kenyataan untuk mencapai Bangsa Indonesia yang Pancasilais, adil, dan makmur.

Kriminalitas di Indonesia Menjadi Fenomena Tersendiri

Mengamati berbagai kejadian tindakan kriminalitas yang terjadi di Indonesia sungguh mengerikan, dan bahkan membuat merinding disetiap benak hati kita dalam menyikapinya. Dari tindakan penculikan anak, penjualan anak-anak dibawah usia untuk dijadikan komoditi seksual, pencurian dan perampokan, pengeroyokan dan bahkan pembunuhan berantai. Belum lagi soal maraknya premanisme yang tidak pernah hilang di negeri ini, Indonesia.
Dari setiap kejadian tindakan kriminalitas pastilah ada korban, baik materil hingga nyawa. Dan tindakan kriminalitas sering kali terjadi adanya rasa ketidak adilan, dendam bahkan kurangnya pendidikan tentang hukum dan kemanusiaan. Belum lagi pemerintah menunjukan tidak tegasnya pada penerapan hukum yang sesungguhnya. Hal inilah yang membuat kehidupan dalam tatanan bermasyarakat menjadi tidak nyaman. Ditambah lagi kondisi negara ini dalam keadaan kronis dibidang lapangan pekerjaan serta ekonomi yang morat marit. Selain persoalan ketidak adilan dalam hukum dan rasa dendam maupun lainnya, ternyata persoalan ekonomi dan lapangan pekerjaan menjadi biang keladinya.
Bagaimana tidak ?. Pemerintah sendiri seakan-akan tidak peduli soal kebutuhan rakyat, ekonomi dan lapangan pekerjaan.
Inilah fenomena yang terus menerus terjadi di Indonesia, yang katanya negara Hukum dan menghargai Hak Azasi Manusia, namun kenyataannya tidak !!!.
Narkoba, penculikan anak-anak tak berdosa, penjualan manusia untuk komoditi seksual, pemerkosaan, pembunuhan, bahkan sampai dengan dunia premanisme, semua itu fenomena kriminalitas yang terjadi di Indonesia hingga sampai saat ini. Bahkan pemerintahnyapun sebenarnya adalah biangnya premanisme. Bukti nyata, pemerintah beserta para bawahannya, baik dari tingkat kepala desa sampai dengan tingkat menteri, semuanya preman yang gemar korupsi. Ditambah lagi para anggota dewan perwakilan rakyat juga para preman-preman berdasi.
Dari tinggkat pejabat saja sudah menunjukan gelagatnya seperti preman-preman yang tidak punya rasa kemanusiaan. Yang bukan menjadi haknyapun disikat, diembat, dan digelapkan. Nah kalau sudah seperti itu, bagaimana tidak banyak para premanisme berkembang ditengah-tengah masyarakat, soalnya pemerintah sendiri tidak mencontohkan dan tidak memiliki perilaku yang bermoral serta tidak berahklak mulia. Maka jadilah contoh yang tidak benar di mata masyarakat.

Solusi untuk menghilankan kriminalita di Indonesia :
Pertama harus mempertebal keimanan yang kita punya da harus bisa membedakan mana yang baik maupun mana yang buruk karena dengan begitu tingkat criminal di Indonesia dapat berkuran.
Kedua tindakan hokum yang tegas.
Ketiga mendaptkan sanksi yang sangat berat ataupun ganti rugi yang setimpal.



Fenomena Korupsi di Indonesia

Fenomena korupsi telah menjadi persoalan yang berkepanjangan di negara Indonesia. Bahkan negara kita memiliki rating yang tinggi di antara negara-negara lain dalam hal tindakan korupsi. Korupsi sebagai sebuah masalah yang besar dan berlangsung lama menjadi sebuah objek kajian yang menarik bagi setiap orang. Setiap orang memiliki sudut pandang masing-masing sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam kajian itu. Misalnya ada orang yang meneliti pengaruh korupsi terhadap perekonomian, perpolitikan, sosial, dan kebudayaan.  
Fenomena korupsi telah merongrong nilai-nilai kerja keras, kebersamaan, tenggangrasa, dan belaskasih  di antara sesama warga bangsa Indonesia. Korupsi menciptakan manusia Indonesia yang easy going, apatisme terhadap nasib dan penderitaan sesama khususnya rakyat kecil yang tidak sempat untuk menikmati atau memiliki kesempatan untuk korupsi. Meskipun korupsi bukanlah sebuah lapangan pekerjaan baru. Singkatnya tindakan korupsi seolah-olah bukanlah sebuah lagi sebuah tindakan yang diharamkan oleh agama manapun sebab kenderungan korupsi telah merasuki hati semua orang.
Dalam tulisan ini, Penulis mau mengkaji korupsi sebagai sebuah budaya. Mari’e Muhammad(Mantan Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VI pada masa Pemerintahan Orde Baru) mengatakan bahwa tindakan korupsi di Indonesia menjadi sebuah budaya.[1] Mungkin banyak orang yang menyetujui dan memiliki pemahaman yang sama dengan Mari’e.  Sejauhmana korupsi itu bisa dikatakan sebagai sebuah budaya? Apakah pernyataan Mari’e di atas jika ditelaah secara filosofis bisa dibenarkan?   Apakah korupsi yang membudaya itu tidak bisa dikikis oleh nilai-nilai kebudayaan lain seperti agama, etika politik yang baik dan lain-lain?   

Solusi untuk memberantas korupsi :
Bangsa ini perlu banyak belajar dan merenung untuk menghargai bahwa korupsi merugikan orang banyak yang telah bekerja keras dan berlaku jujur. Tindakan korupsi tidak menghargai fitrah manusia yang diilhamkan kepadanya untukcinta kepada kebaikan. Dengan begitu kita semua sedang belajar untuk hidup lebih lurus. Anak bangsa ini lahir dan besar dalam kondisi majemuk dan berbeda status sosial ekonominya. Ada yang berpunya dan ada yang lahir dalam serba berkekurangan. Dalam kemajemukan tersebut, keragaman pandangan dan pilihan untuk memelihara dan menjinakkan perilaku korupsi adalah hal biasa dan harus kita hargai. Dengan kemauan mengoreksi kesalahan berarti kita berpeluang untuk mengatasi krisis apapun. Krisis adalah peluang di masa sulit. Bangsa ini perlu membangun kehidupan sehari-hari yang berdasar etika yang kuat, aturan-aturan hukum yang dibuat aspiratif dan partisipatif, dengan begitu keadilan akan datang
Masyarakat dapat berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.