Semenjak awal peradaban manusia di Indonesia meyakini bahwa tiap-tiap warganya memiliki rasa nasionalisme. Rasa nasionalisme bisa tumbuh mendampingi watak masing-masing individunya menuju ke arah positif. Rasa nasionalisme itu sendiri mengingatkan kepada kita akan suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan suatu konsep identitas diri. Dimana identitas diri itu merupakan sebuah alat untuk menunjukkan rasa cinta tanah air. Perwujudan secara nyata berupa mampu terikatnya jiwa warga negara untuk mempertahankan wilayah negerinya. Wilayah yang telah dikenal karena dari tempat itulah mampu memberikan penghidupan dan penafkahan.
Dari hal kompleks di atas ikatan pribadi muncul. Membentuk berbagai benang-benang kesadaran, bisa pula kesadaran itu direkayasa yang memang dirancang untuk membangun rasa nasionalisme. Namun selebihnya, generasi muda yang seharusnya lebih banyak memilikinya malah suka “menutup mata, telinga, mulut bahkan hati” dengan perasaan enteng jika ditnya saat nasionalisme. Padahal mereka adalahelemen bangsa yang utama. Jika hal ini terus berlanjut, masihkah negeri ini mau menanggung malu di khalayak internasional 30 tahun mendatang? Ironis memang, apabila dibandingkan dengan semangat remaja-remaja pendahulu. Generasi muda yang diharapkan mampu diharapkan sebagai pemegang estafet pemerintahan akhirnya “memungkiri” amanah itu sendiri dengan mengabaikan nasib bangsa. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena remaja saat ini hanya mau mengambil satu unsur saja dari dua unsur yang dimiliki oleh remaja dahulu. Kedua unsur itu ialah perjuangan dan kemenangan. Mereka mengenal bahwa lewat sebuah perjuangan, kemenangan tak mustahil untuk diraih. Namun remaja sekarang mengambil unsur kemenangan saja tanpa melewati proses. Mereka menginginkan kemenangan ada begitu saja secara instrant. Inilah perwujudan pemikiran mereka sekarang ini. Akibat fasilitas yang didapat secara instant, otak mereka pun dicuci pula dan ikut-ikutan instant. Hal itu mampu dibuktikan misalnya para remaja diharapkan pada suatu sejarah masa lalu lewat film-film perjuangan. Seketika bulu kuduk berdiri dan semangat nasionalisme muncul, jiwa yang menyimpan rasa itu terbakar. Realitanya, selang beberapa waktu saja jiwa suci itu kembali meredup, hilang.
Maka untuk memasukkan nasionalisme ke jiwa remaja dibutuhkan suatu proses dorongan semangat secara bertahap agar terekam jelas dan tak akan hilang walaupun budaya-budaya asing telah merambah negeri ini. Salah satu upaya itu ialah mengaplikasikan pelajaran-pelajaran sekolah untuk menyimpan benih-benih pada pribadi generasi muda kita. Rasa nasionalisme dapat dibentuk melalui pembelajaran sastra. Bukankah sastra mengajarkan kesatuan utama yang mampu memberikan kemudahan dalam kehidupan manusia. Sastra juga mengusung unsur kelembutan dan kedamaian. Oleh sebab itu layak apabila sastra mampu berdampingan dengan kehidupan.
Remaja yang memiliki kecintaan terhadap sastra secara perlahan akan menemukan suatu kedamaian dan menumbuhkan jiwa nasionalisme. Mereka akan menempatkan diri pada ruang kehidupan secara khusus, mereka tidak akan berorientasi pada materi saja. Faktanya memang perubahan selalu mengarah pada materi namun perubahan yang di iringi dengan jiwa akan terasa berbeda. Jadi tidak terfokus pada fisik saja. Seperti yang diungkapkan oleh John F. Kennedy “Seandainya ada lebih banyak kaum politik memahami puisi, saya yakin dunia yang kita alami ini akan menjadi tempt yang lebih baik”.
Namun pembelajaran sastra dikebanyakan sekolah kurang efisien karena hanya berteori saja. Sebenarnya praktek dalam berkarya sastra akan terasa lebih mudah untuk menciptakan rasa ideologi nasionalisme. Siswa akan mengekpresikan seluruh cinta tanah air yang ia miliki lewat karya sastra. Ada suatu kebanggaan tersendiri apabila ide-ide kita mampu dituangkan dalam tulisan yang indah daripada hanya berbicara saja. Jadi media sastra selalu terbuka lebar. Bagi remaja yang mau mengungkapkan bagaimana rasa penghargaan kita terhadap bangsa.
Dari penjelasan di atas, masalah ideologi nasionalisme tampaknya mampu menjadi sumber ide yang sangat menarik bagi penulis. Sebagai contoh novel Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Di dalamnya menceritakan tokoh Guru Isa yang menggambarkan semangat bernasionalisme walaupun hatinya dikabuti rasa takut. Dan masih banyak lagi khazanah karya sastra Indonesia yang bernafas serupa. Tentunya gambaran nasionalisme ditunjukkan dengan cara yang menyenangkan. Cara yang dimiliki sastrawan pasti berbeda dengan sejarawan. Sastrawan akan menafsirkan nasionalisme dari berbagai arah. Ia tak mau bertumpu pada satu arah saja. Ia akan merasakan kepuasan walaupun harus berjungkir untuk menafsirka nasionalisme. Bukti ini semakin memperkuat bahwa memahami nasionalisme lewat karya sastra sangat menyenangkan.
Perlu diketahui pula bahwa nasionalisme dan sastra memiliki hubungan kuat. Sebagai contohnya adalah Nugroho Notosusanto menyatakan bahwa sastra Indonesia modern mulai pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908. Dan menurut Ajib Rosidi, peresmian pengakuan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dilakukan pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 di Jakarta. Dengan fakta di atas, daya cipta kebudayaan (sastra) dianggap bersifat nasional. Maksudnya menjadi milik nasionalitas Indonesia, termasuk bahasa dan sastra. Dari pernyataan kedua tokoh di atas mampu memberikan buah pelajaran bagi generasi muda akan suatu perjuangan. Mengubah yang lemah menjadi kuat dan yang anarkis menjadi kedamaian.
Karena itu, sastra haruslah menempati ruang penghidupan yang lebih layak dari sebelumnya. Cara pandang pun harus diubah. Demi melahirkan jiwa-jiwa nasionalisme dengan bekal budi pekerti santun. Sastra sudah saatnya diterjemahkan filosofinya agar tidak menciptakan fakta irasional. Dengan kembalinya sastra disela-sela kehidupan generasi muda diharapkan tercipta situasi kebangsaan yang utuh. Generasi muda akan mengendalikan bangsa dengan rasa nasionalisme hasil pembelajaran sastra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar